Sabtu, 29 Agustus 2009

cerpen cinta :Tulang Rusuk yang Hilang… sebuah Cerita Cinta yang Mengharukan…..


label :cerpen cinta,cerpen persahabatan

Sebuah senja yang sempurna, sepotong donat, dan lagu cinta yang lembut. Adakah yang lebih indah dari itu, bagi sepasang manusia yang memadu kasih? Raka dan Dara duduk di punggung senja itu, berpotong percakapan lewat, beratus tawa timpas, lalu Dara pun memulai meminta kepastian. ya, tentang cinta.

Dara : Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?
Raka : Kamu dong?
Dara : Menurut kamu, aku ini siapa?
Raka : (Berpikir sejenak, lalu menatap Dara dengan pasti) Kamu tulang rusukku! Ada tertulis, Tuhan melihat bahwa Adam kesepian. Saat Adam tidur, Tuhan mengambil rusuk dari Adam dan menciptakan Hawa. Semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang dan saat menemukan wanita untuknya, tidak lagi merasakan sakit di hati.”
Setelah menikah, Dara dan Raka mengalami masa yang indah dan manis untuk sesaat. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang kain mendera. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat mereka mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain.
Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran itu mulai menjadi semakin panas.
Pada suatu hari, pada akhir sebuah pertengkaran, Dara lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, dia berteriak, “Kamu nggak cinta lagi sama aku!”
Raka sangat membenci ketidakdewasaan Dara dan secara spontan balik berteriak, “Aku menyesal kita menikah! Kamu ternyata bukan tulang rusukku!”
Tiba-tiba Dara menjadi terdiam , berdiri terpaku untuk beberapa saat. Matanya basah. Ia menatap Raka, seakan tak percaya pada apa yang telah dia dengar.
Raka menyesal akan apa yang sudah dia ucapkan. Tetapi seperti air yang telah tertumpah, ucapan itu tidak mungkin untuk diambil kembali. Dengan berlinang air mata, Dara kembali ke rumah dan mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah. “Kalau aku bukan tulang rusukmu, biarkan aku pergi. Biarkan kita berpisah dan mencari pasangan sejati masing-masing. ”
Lima tahun berlalu…..
Raka tidak menikah lagi, tetapi berusaha mencari tahu akan kehidupan Dara. Dara pernah ke luar negeri, menikah dengan orang asing, bercerai, dan kini kembali ke kota semula. Dan Raka yang tahu semua informasi tentang Dara, merasa kecewa, karena dia tak pernah diberi kesempatan untuk kembali, Dara tak menunggunya.
Dan di tengah malam yang sunyi, saat Raka meminum kopinya, ia merasakan ada yang sakit di dadanya. Tapi dia tidak sanggup mengakui bahwa dia merindukan Dara.
Suatu hari, mereka akhirnya kembali bertemu. Di airport, di tempat ketika banyak terjadi pertemuan dan perpisahan, mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas, mata mereka tak saling mau lepas.
Raka : Apa kabar?
Dara : Baik… ngg.., apakah kamu sudah menemukan rusukmu yang hilang?
Raka : Belum.
Dara : Aku terbang ke New York dengan penerbangan berikut.
Raka : Aku akan kembali 2 minggu lagi. Telpon aku kalau kamu sempat. Kamu tahu nomor telepon kita, belum ada yang berubah. Tidak akan adayang berubah.
Dara tersenyum manis, lalu berlalu.
“Good bye….”
Seminggu kemudian, Raka mendengar bahwa Dara mengalami kecelakaan, mati. Malam itu, sekali lagi, Raka mereguk kopinya dan kembali merasakan sakit di dadanya. Akhirnya dia sadar bahwa sakit itu adalah karena Dara, tulang rusuknya sendiri, yang telah dengan bodohnya dia patahkan.

“Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah fatal”

cerpen cinta :Cerita Cinta yang mengharukan….

label :cerpen cinta,cerpen persahabatan


Namaku Linda dan aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberikanku sebuah pengajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat dan mengagumkan seperti dalam novel-novel romantis, tetapi tetap bagiku ia adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari semua novela tersebut.

Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu di sebuah majlis resepsi pernikahan dan kata ayahku dia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk ke dalam ruangan. Saat itu dia tahu, inilah wanita yang akan dikahwininya. Ia menjadi kenyataan dan mereka telah bernikah selama 40 tahun dengan tiga orang anak. Aku anak sulung, telah berkahwin dan memberikan mereka dua orang cucu. Ibu bapaku hidup bahagia dan selama bertahun-tahun telah menjadi ibu bapa yang sangat baik bagi kami, membimbing kami dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan.

Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Beberapa jiran kami mengajak ibuku pergi ke pembukaan pasaraya yang menjual alat-alat keperluan rumah tangga. Mereka mengatakan hari pembukaan adalah waktu terbaik untuk berbelanja barang keperluan kerana barang sangat murah dengan kualiti yang berpatutan.

Tapi ibuku menolaknya kerana ayahku sebentar lagi akan pulang dari kerja. Kata ibuku,”Ibu tak akan pernah meninggalkan ayahmu sendirian”.
Perkara itu yang selalu ditegaskan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita, aku wajib bersikap baik terhadap suamiku dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sihat mahupun sakit. Seorang wanita harus menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu. Menurut mereka, itu hanyalah lafaz janji pernikahan, omongan kosong belaka. Tapi aku tetap mempercayai nasihat ibuku.

Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami sekeluarga mengalami berita duka. Setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Doktor mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, dia harus menghabiskan sisa hidupnya di pembaringan.

Ayahku, seorang lelaki yang masih sihat di usia tuanya. Tetapi dia tetap setia merawat ibuku, menyuapinya, bercerita segala hal dan membisikkan kata-kata cinta pada ibu. Ayahku tak pernah meninggalkannya. Selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya. Ayahku pernah mengilatkan kuku tangan ibuku, dan ketika ibuku bertanya ,”Untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan hodoh sekali”.
Ayahku menjawab, “Aku ingin kau tetap merasa cantik”.
Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”Kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?”

Aku menggeleng, dan ibuku berkata, “Kerana aku tak pernah meninggalkannya…”

Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan Ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggungjawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.

cerpen cinta : Tak Cukup Hanya Cinta

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

"Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?", sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.

"Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri", jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. "Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim", raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.

"Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu", tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. " Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol", jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.

"Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama", mbak Artha mulai bertutur. "Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk menikah".
"Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?", tanyaku penasaran. "Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri"

"Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik", papar mbak Artha sambil tersenyum getir.

Aku perbaiki posisi dudukku, aku pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa penasaran dan sedikit nggak percaya karena Mbak Artha yang aku kenal sekarang adalah tipikal wanita sholehah, berhijab rapi, tutur kata lembut, tilawahnya bagus dan smangatnya luar biasa. Benar-benar jauh dari profil yang di ceritakan tadi. Ternyata benar kata pepatah, bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya pengetahuan agama, akhirnya mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade diri. Dan subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar laksana bunga yang sedang tumbuh di musim semi, tapi siapa sangka ternyata indahnya bunga itu tak lain karena kotoran-kotoran hewan yang menjadi pupuk disepanjang kehidupannya.

Rupanya harapan mbak Artha untuk bisa menimba ilmu agama bersama-sama sang suami tinggal impian. Mas Bimo yang diharapkan bisa menjadi katalisator dan penyemangat ternyata hanya jalan ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum bertambah, tilawah Al Qur'an-nya masih belum ada perbaikan masih belum lancar. Sementara kesibukannya sebagai Brand Manager di salah satu perusahaan Telco milik asing, makin menyita waktu dan perhatiannya. Masih syukur bisa mengahabiskan weekend bersama Mbak Artha dan Raihan anak semata wayang mereka, kadang weekend pun mas Bimo harus ke kantor atau meeting dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk menghadiri majelis taklim, tadarus bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka lakukan.

Aku jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang ustad berkata "Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjam’ah antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh akan didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya"
"Dhek....", suara mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Iya mbak, saya masih denger kok. Saya hanya berpikir ini semua bisa menjadi ladang amal buat mbak Artha", jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi ngelamun.

"Pada awalnya aku juga berpikir seperti itu dhek. Aku berharap Mas Bimo juga memiliki keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan kami terhadap Islam. Aku cukup gembira ketika mas Bimo menyambut ajakanku untuk sama-sama belajar. Namun dalam perjalanannya, smangat yang kami miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan ditempat. Sempat miris hati ini ketika suatu saat aku meminta beliau menjadi imam dalam sholat magrib. Bacaan suratnya masih yang itu-itu juga dan masih terbata-bata.Aku baru tau bahwa dia belum pernah khatam Qur’an. Harusnya kan suami itu imam dalam keluarga ya dhek?", mata mbak Artha mulai berkaca-kaca.

"Apa harapanku terlalu tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami itu adalah Qowwam, pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana jika sang pemimpin saja belum memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin?", suara mbak Artha mulai bergetar.

"Terkadang aku ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak mungkin terjadi selama suamiku tidak mau belajar lagi membaca Al-qur'an. Aku juga merindukan sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini berlebihan dhek?", tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.

"Berbagai cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya tidak menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku mulai rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga untuk sholat 5 waktu tepat pada waktunya dan tilawah qur’an setelah sholat subuh. Bahkan berusaha bangun malam menunaikan tahajud serta menjalankan sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan harapan mas Bimo pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu dan semangat, melihat istrinya bersemangat", papar mbak Artha dengan suara yang agak tinggi.

"Tapi sampai detik ini semuanya belum membuahkan hasil. Aku seperti orang yang berjalan sendirian. Tertatih, jatuh bangun berusaha menggapai cinta Alloh. Aku butuh orang yang bisa membimbingku menuju surga. Dan harusnya orang itu adalah Mas Bimo, suami ku"
Kurangkul pundaknya, sambil berbisik "sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai harapanmu akan segera terwujud". Mbak Artha tampak agak tenang dan mulai melanjutkan ceritanya.

"Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari cukup, overall Mas Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera rumah tangga kami belum pernah diterpa badai besar, semuanya berjalan lancar. Sampai disuatu saat mbak mulai menyadari sepertinya bahtera kami telah kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti arus kehidupan yang smakin lama smakin membawa kami kearah yang tidak jelas. Kami sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Kehangatan, kemesraan, ungkapan sayang yang dulu paling aku kagumi dari Mas Bimo sedikit demi sedikit terkikis di telan waktu dan kesibukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, unsur religi sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi qowam sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik Cinta, terabaikan. Mungkin karena memang bekalnya yang kurang. Sunguh, harapan menggapai sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh dari pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering", suara mbak Artha mulai bergetar kembali.

Aku jadi speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah tangga mbak Artha, menyimpan suatu bara yang setiap saat bisa membakar hangus semuanya. Hanya karena satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam berumahtangga. Atau mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan saat awal menikah dulu. Bukankan tujuan kita menikah adalah ibadah untuk menyempurnakan setengah agama. Idealnya, setelah menikah keimanan, ibadah kita makin meningkat. Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau mentor bagi istri, atau kalaupun sebaliknya jika istri yang lebih berilmu tidaklah masalah jika istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting tujuan menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui cinta dan rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya mengapa kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan keturunan.

Ternyata cinta saja tak cukup untuk bekal menikah, begitupun dengan harta. Pernikahan merupakan hubungan secara emosional yang harus ditumbuhkan dengan sangat hati-hati, penuh kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak kenikmatan sebuah pernikahan bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja melainkan melalui penyatuan emosional dan spiritual. Pernikahan adalah sarana pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk mempelajari karakter pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.

"Dhek Lia....", Mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Makasih ya dhek dah mau jadi kuping buat mbak", mbak Artha menggenggam tanganku sambil tersenyum. "Mbak yakin dhek Lia bisa dipercaya, do'akan supaya mbak diberikan jalan yang terbaik sama Alloh".
Aku pun tersenyum, "Insyaalloh mbak, makasih juga dah mau sharing masalah ini dengan saya. Banyak hikmah yang bisa saya dapat dari cerita mbak. Saya masih harus banyak belajar soal kehidupan berumah tangga mbak. Jazakillah".

Tak terasa hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur, mengakhiri obrolan kami. Sambil menuju tempat wudhu mesjid untuk sholat dhuhur berja'maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. "Mas aku kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang ya Mas. Uhibbukafillahi Ta'ala" ***

cerpen cinta :Cinta Sepotong Mimpi

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.

Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.

Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.

“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.

Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.

Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).

Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.

“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.

”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.

”Barangkali saja itu pertanda.”

”Bahwa Lala jodoh saya?”

”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”

Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.

Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.

”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.

”Ah, adikmu itu takkan mau.”

”Tapi…”

”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”

“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”

Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.

”Kupercayakan semua itu padamu.”

Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.

***

Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.

“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.

”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”

Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.

“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.

***

Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.

”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.

Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.

”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.

”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”

Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.

Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.

Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.

“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”

Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.

“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”

Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.

Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.

Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.

Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.

”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.

Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.

Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.

***

Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.

”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”

Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.

”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!

”Rasanya Azisa bukan jodohku.”

Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.

”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.

”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”

Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.

”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”

”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”

Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.

”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”

Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.

Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.

“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”

Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.

“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”

Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?

Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.

cerpen cinta: Ketika Derita Mengabadikan Cinta

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua
mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan
Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah
Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.
…”

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi
pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai
Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti
mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan
kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di
televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah
menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.
Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan
berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang
tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung
shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang
kacamatanya, lalu…

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.
Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya
para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini
perkenankan saya bercerita…
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan
cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,
yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,
mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil
hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah
lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu …
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke
atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormat
di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga
aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan
Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit
politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam
suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup
sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga
besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau
kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya
merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan
keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih
merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah
yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini
ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan
tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang
yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap
memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu
mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan
selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,
ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di
dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah
hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan
istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali
saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar
lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau
menolak mentah-mentah.

“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,
saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh
pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan
kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung
hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan
kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah
menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta
ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.
Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka
datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami
ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada
keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan
saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan
kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian
serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya
beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas
yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak
boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya
nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak
terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan
bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik
kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak
dilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,
seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak
mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa
pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu
langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500
ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil
seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak
direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,
bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke
berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?
Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup dari
strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar
adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat
keluarga besar Al Ganzouri.”
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah
saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat
sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang
jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup
saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan
bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain
menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini
kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan
penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan
beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata
illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui
penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan
putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih
keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah
dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan
ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak
karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya
kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor
ma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.
Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad
nikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima
nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita
sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3
sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.
Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata
Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan
kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami
membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu
mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan
segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa
apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang
sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar
ongkos akad nikah di kantor ma’dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis
lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,
tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di
jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada
puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara
campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca
bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa
berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.
Maafkan Kanda!”
“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah
berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa
menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.
Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.
Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda
tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada
mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu
ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita
berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita
saat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa
optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi
teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan
sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan
dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di
emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam
kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin
kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa
uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali
bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya
berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan
perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil
menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi
kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah
untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan
mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika
seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai
mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang
membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan
uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk
3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami
pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah
kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan
satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu
saja… tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap
bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan
melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia
adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia
merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan
cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan
gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika
percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari
semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling
nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat
Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak
menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak
memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada
putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyah
yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah
dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang
berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa
bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai
mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah
membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun
mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita
hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang
bilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,
ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa
kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil
layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar
menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter
yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu
membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan
mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami
terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil
sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan
mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor
dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala
perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu
juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka
robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu
mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena berani
menentang Tuan Pasha.”

Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itu
pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua
berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu
kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang
berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang
sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja
dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah
sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang
skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna
susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan
niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil
memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar
menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta
beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun
marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan
segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun
penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak
ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.
Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.
Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.
Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah
SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada
kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam
itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia
tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang
penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &
lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana… di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku… besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa
dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia
ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program
Magister bersama!

“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saat
paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai
dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak
berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar
Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran
dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar
sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk
sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita
wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun
luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan
kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki
hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan
kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami
hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang
kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari
kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam
suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati
dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk
beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal
atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,
menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,
itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada
saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,
tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya
hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan
yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar
biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa
sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah
wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.
Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan
mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan
senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambil
tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami
belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih
hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak
dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk
pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal
hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali
tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah
memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembali
mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor
Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,
dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di
London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya
kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di
negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”

Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar
Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis
jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru
di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai
direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar
di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia
dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan
duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya
menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup
bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup
menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt
dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin
sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,
di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk
di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda
Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan
bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan
itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda
Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan
segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

Kamis, 27 Agustus 2009

cerpen cinta :kisah cinta segi empat

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

Ku letakan gelas yang masih terisi setengah coklat panas. Kembali ku hisap rokoku ketika tangan Rendy memegang lembut tangan Nabila. ”Hem, mesrah sekali!” Bisiku dalam hati. Jujur aku sangat cemburu. Aku sadar bahwa aku sangat sayang kepada Nabila, tapi aku tak mau menghancurkan persahabatan kami. Karena sudah dari semester satu sampai saat ini kami berteman. Dulu Rendy dan Nabila tidak pacaran, tapi mungkin karena akrab dan seringnya ketemu jadinya mereka pacaran deh. Jadi ingat waktu dulu nih, waktu hujan-hujan di sebuah restoran prancis, aku dan Nabila janjian buat ketemuan. Niatku dalam hati sih ingin mengungkapkan cintaku, tetapi ketika aku baru mau mulai berkata dia langsung berkata, ”Aku udah jadian sama Rendy tadi siang.” Memang hatiku sangat hancur saat itu, tetapi aku sadar bahwa persahabatan adalah segala-galanya. Lamunanku terbuyar saat lembut tangan Nabila mencubit lembut lenganku. Aku terperanjat dan langsung salah tingkah. ”Lagi ngelamunin apa nih?” Nabila berkata dengan manis sambil tangannya menarik-narik sedotan dari gelas yang dia pegang. ”Nggak, aku lagi mikirin mata kulia nih!” Jawabku dengan agak gugup. ”Pasti lagi ngelonjor tuh, alias ngelamun jorok!!! Ia kan?” Ketus Rendy dengan suara besar dan agak terbahak. Aku hanya bisa diam dan kembali menyedot coklat panas yang sudah dingin sambil memandangi Rendy dan Nabila tertawa mesrah. Saat tepat jam 4 sore, kami pulang ke rumah. Seperti biasa, Nabila pulang sendiri dan aku bersama Rendy pulang ke kos-kosan kami. Di tengah perjalanan tiba-tiba rendy mengajak aku ngomong serius. Dalam hati aku bertanya, ”Rendy mau ngomongin apa? Jarang-jarang dia serius kaya gini.” ”Rik, gua besok mau pulang ke Surabaya.” Rendy berkata dengan nada rendah. ”Ngapain lo ke Surabaya, kulia aja belum selesai?!” Aku menjawab sambil menyalakan rokoku yang kedua. ”Gua mau nerusin usaha bokap ki! Bokap udah sakit-sakitan!” Rendy bicara dengan agak serak, sepertinya dia menahan sesuatu. Aku tidak menanggapi langsung, aku asyik melihat anak kecil di depanku sedang meniup sedotan pelastik sambil mengosok-gosokan kepalanya ke pundak ibunya. ”Gua serius!!!” Teriak Rendy mengagetkanku. ”Sory gua ngelamun” Jawabku mencari alas an. ”Terus?” Rendy bertanya dengan wajah serius. ”Terus apanya?” Aku bertanya balik karna bingung. Jujur aku baru sekali ini melihat Rendy kaya gini. Selama ini dia orangnya ketimpringan, suka ketawa-ketiwi, dan rame banget deh!! Dalam catatan pertemanan aku sama Rendy, tidak pernah dia serius seperti ini. ”Nabila” Jawab Rendy dengan agak lemas sambil mengusap rambutnya yang sedari tadi kusut. ”Kenapa Nabila?” Aku bertanya lagi. ”Gua nggak mungkin mbawa Nabila” Rendy berkata sambil membuka kaca angkot yang kami tumpangi. Tiupan angin segar seketika masuk dari kaca jendela. ”Terus Nabila gimana?” Aku kembali bertanya. Tadinya aku nggak serius, tetapi setelah mendengar nama Nabila aku langsung tanggap dan serius. Aku nggak tau setiap aku mendengar nama itu hatiku jadi bergetar. Aku selalu cemburu ketika aku ngedengar cowo lain menyebut nama itu. ”Gua mau nitipin Nabila ke lo” Rendy berkata sambil melihat ke lantai angkot. Rambutnya yang berantakan dan panjang melambai-lambai di tiup angin dari jendela mobil. ”Dititipin sama gua?” Aku kembali bertanya. Jujur aku sangat senang mendengar kata itu. Dalam hati aku ingin sekali Rendy cepat pulang ke Surabaya agar aku bisa berdua bersama Nabila. Ia, hanya berdua saja. Memang kalau dirasa aku sangat jahat, tetapi itulah yang ada dalam hatiku saat ini. Aku langsung membayangkan aku bersama Nabila berjalan berdua, makan berdua, mengerjakan tugas bersama dan ”Hoi!!!!!! Ngelamun aja lo!!!!!!” Teriakan Rendy mengagetkan aku. Rupanya dari tadi Rendy berbicara tetapi tidak aku dengarkan. ”Lo ngomong apaan?” Tanyaku lagi. ”Gua ngomong jangan bilang-bilang ke Nabila kalau besok gua bakal pergi. Lo boleh bilang saat gua sudah berangkat. Dan jangan suruh dia untuk ngehubungi gua karena gua nggak mungkin akan balik ke sini lagi.” Rendy bicara sambil mengambil uang kertas dari saku celananya. ”Kenapa?” Aku kembali bertanya. ”Soalnya pas sampai di sana gua di tunangkan.” Rendy berkata sambil mengetok atap angkot karena kami sudah sampai. Jedak-jeduk jantungku mengiringi langkahku. Aku tak habis piker, kenapa keadaan bisa seperti ini? Dulu aku berpikir bahwa aku nggak bisa sama sekali memiliki Nabila, tetapi bila keadaannya seperti ini, harapan itu spontan muncul kembali dan mengusik setiap pikiran diri. Aku tersentak ketika aku dikejutkan oleh suara perempuan di hadapanku. Rupanya kami bertabrakan. ”Kalau jalan liat-liat dong!!!” Suaranya terdengar melengking di telingaku. Kupandangi saja sosok di depanku yang sedang memungut buku di lantai kos. ”Maaf” aku berkata sambil ikut membantu memunguti buku yang sedari tadi berantakan. Sosok itu berdiri sambil merapikan buku-buku di kedua tangannya. Aku baru sadar bahwa dia sangat cantik. Kulitnya yang putih mulus, bibirnya yang merah dan alisnya yang berbaris rapi di atas kedua matanya sangat mempesona. Dalam hati aku bertanya, ”Siapa dia?” Mungkin dia keponakannya ibu kos. Ah daripada penasaran, lebih baik aku tanyakan langsung kepadanya. ”Kamu keponakannya ibu kos ya?” Aku bertanya agak sedikit gugup. ”Aku anak kos baru.” Dia bicara dengan nada rendah. ”Oh anak baru…” Aku berkata dengan santainya. Dia berlalu di depanku dan kurasakan aroma sejuk menusuk penciumanku. ”Aroma Mawar!” pikirku dalam hati. Saat sosok indah itu menghilang di balik pintu aku baru sadar kalau aku sangat gembira. Aku berkenalan dengan gadis yang sangat cantik dan tanpa disengaja aku tinggal satu atap dengannya. Dan bodohnya lagi aku belum tau namanya. Ah sudahlah, nanti juga bertemu lagi, lagi pula diakan tinggal di sini. Aku berlalu meninggalkan ruangan tengah, dan menerobos gorden yang setenga terbuka. Aku langsung naik ke kasur dan meloncat-loncat. ”Asyik!!!!! gua ketemu cewe cakep!!!!” aku meneriakan kata-kata itu. Di muka pintu aku melihat ibu kos memelototiku. ”Dasar anak brengsek!!!! Kaya anak kecil aja, lo kira gua beli kasur nggak pake duit apa? Kasur gua diinjek-injek pakek sepatu!!!” Aku hanya bisa diam dan menunduk sambil tidak menghiraukan ocehan demi ocehan dari ibu kos. ”Dasar nenek sihir!” jeritku dalam hati. Aku melepaskan sepatuku dan membiarkan ibu kos mengoceh di depan pintu. Lama dia mengoceh, dan setelah puas dia berlalu meninggalkanku. Kurebahkan tubuhku di atas kasur yang ditutupi seprei yang lusuh. Mungkin sudah tiga minggu aku tak mencuci seprei ini. Bayangan Nabila tiba-tiba mencul di pelupuk mataku yang setengah terpejam. Dia menggapai-gapaikan tangannya ke arahku. Aku datang menyongsongnya, dan kami bertemu ditengah taman yang indah. ”Ki, aku sayang padamu.” ”Nabila, akupun begitu.” ”Ki, aku ingin memilikimu!” ”Aku juga.” Ku lihat Nabila memejamkan matanya dan tak sabar aku ingin memeluknya. Dengan penuh kasih sayang aku mencium halus keningnya dan dia kembali membuka kedua matanya yang mulai berkaca. ”Tapi kita tak mungkin bersatu!” bisiknya seakan tidak terdengar. ”Kenapa tidak?” belum sempat aku melanjutkan, jarinya yang harum menutup bibirku. ”Walaupun Rendy pergi, aku tak mungkin dapat kau miliki” Aku baru mau bertanya tapi dia menutup mulutku lagi. ”Karena aku…” Aku dikagetkan oleh suara Rendy yang berteriak di telingaku. ”Hoi, sauuuuuuuur!!!!” Aku sangat kesal, tega-teganya dia membangunkan aku, padahal aku sedang bermimpi indah. ”Hoi coi, udah magrib! Masa lo mau tidur mulu! Shalat donk!!!!” Rendy kembali berteriak. Aku hanya bisa diam dan berusaha bangkit. Kulihat jam dinding, ”Sudah jam enam!” seruku dalam hati. Aku bangkit dan mengambil handuk yang tergantung di balik pintu. Kulihat lagi gambar porno yang ada di balik pintu, ”Seksi abis” pikirku dalam hati. Aku bergegas menuju kamar mandi dan kubanting pintu kamarku supaya Rendy kesal, tapi kayanya dia fine-fine aja tuh sambil tertawa lirih. Ku gosok-gosok mataku yang masih agak kabur sambil tanganku menenteng handuk merah. Bila melihat handuk ini aku teringat Nabila, karena dia yang memberikan handuk ini kepadaku. Saat aku diospek, aku disiram oleh seniorku, sehingga aku harus mandi di kampus. Tetapi aku tidak bawah handuk, dan dengan penuh kasih sayang ”menurutku”, Nabila meminjamkan handuknya kepadaku. Lamunanku terbuyar saat kepalaku menyentuh sesuatu. ”Aduh!!!!” kepalaku terkena jemuran ibu kos. Aku menyandarkan tubuhku ke dinding, dan sayup-sayup kudengar langkah kaki mendekat ke arahku. ”Kamu nggak apa-apa?” Suara itu, aku kenal suara itu! ”Pasti anak baru itu!” seruku dalam hati. Sepontan rasa sakit itu hilang dan berubah menjadi perasaan yang tak karuan. Sosok itu muncul di hadapanku. ”Masih cantik” bisiku dalam hati. Gadis itu hanya dibalut oleh handuk hijau tua yang bermotif garis-garis biru, anting-antingnya yang berwarna putih perak dan bertahta permata yang berkerlap-kerlip sangat tampak di kulitnya yang putih dan mulus. ”Kamu?…” dia tidak jadi berkata. ”Kenapa?” aku balik bertanya. ”Tidak apa-apakan?” dia berkata seraya tangannya mengusap benjolan yang ada di keningku. Aku dapat merasakan tangan itu. Ya, sangat halus! Itulah kata-kata yang bisa ku utarakan. Kunikmati sentuhan tangan itu, dan dengan liarnya aku memandangi tubuh yang hanya dibalut oleh handuk itu. ”Mau kuambilkan obat?” lamunanku buyar saat dia berkata. ”Engg… nggak usa! Lagipula aku mau mandi nih!” aku berkata sambil ikut menggosok benjolan yang ada di keningku. Sebenarnya aku bukan ingin menggosok benjolan itu, tetapi aku ingin memegang tangan itu. Dia melepaskan tangannya dari keningku, tetapi tanganku tetap memegang tangannya. ”Maaf” dia berkata sambil melepaskan tangannya dari tanganku. Aku agak malu, tapi langsung kubuang rasa itu. Dengan penuh percaya diri aku menanyakan namanya. ”Nama kamu siapa?” ”Aldila” dia menjawab dan balik bertanya kepadaku. Tapi belum sempat dia bertanya aku menjawab, ”Riki!” aku mengucapkan itu sambil menyodorkan tanganku. Sambil tersenyum dia menyambut tanganku dan sekali lagi aku bisa merasakan halusnya tangan itu. ”Nama kamu cantik!” dan aku menambahkan dalam hati ”Secantik orangnya.” Dia hanya tersenyum seraya berkata, ”Terima kasih!” ”Oh ya, katanya mau mandi, tuh aku udah selesai makai kamarmandinya!” dia berkata sambil berlalu dan berbelok di ujung lorong. Aku tidak langsung menuju ke kamar mandi, tetapi aku melihat dia menghilang, dan sebelum menghilang dia tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku, dan aku membalas lambayan tangan itu. Tanpa sadar, handukku terlepas dari tubuhku dan ku lihat Aldila tertawa sambil berlalu dari ujung lorong. Aku terkejut dan kulihat aku masih memakai celana pendek. ”Alhamdulillah” bisiku dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala dan bergegas menuju kamar mandi. Aku membuka pintu kamar mandi dan terdengar suara nyaring yang mengilukan saat pintu itu kututup. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil aku mengamati benda di pojok bak mandi. ”Hemh, ada sabun cair, punya siapa nih!” aku bergegas mengambil botol sabun yang berwarna merah dan membuka tutupnya. ”Wangi mawar, berarti ini punya Aldila, asyik gua pakai ah!!!” Aku menyiram tubuhku dan bersiul-siul kecil. Setelah aku selesai mandi, aku dikagetkan oleh Rendy yang berdiri di depan pintu kamar mandi. Dia sepertinya agak bingung melihatku. ”Ngapain lo senyum-senyum?” Rendy bertanya sambil menenteng handuk yang tak layak itu. ”Ada deh, mau… tau… aja deh!!!!” aku tertawa dan berlalu dari hadapan Rendy dan kulihat rendy menutup pintu yang nyaring mengilukan itu. Aku teringat sesuatu, oh ya, aku ingin mengembalikan sabun cair milik Aldila, ya hitung-hitung pdkt gitu! Saat aku tiba di depan pintu kamar Aldila, dia sedang asyik membaca buku. Aku dapat melihat ekspresinya saat aku datang. Di samping tempat tidurnya aku melihat koper yang belum dibuka. ”Lagi baca apaan?” Tanyaku basa-basi sambil duduk di kasur yang empuk dan rapi. ”Nggak!” jawabnya sambil menyembunyikan bukunya ke dalam pelukannya. Sekilas aku berpikir, aku ingin menjadi buku yang dipeluk itu. ”Ada apa?” tanyanya curiga. ”aku mau ngembaliin sabun cair kamu yang ketinggalan di kamar mandi.” Jawabku tanpa ekspresi. ”Oh, makasihya, tapi ngomong-ngomong kamu wangi sabunku, kamu make sabunku ya?” dia berkata sambil tertawa kecil dan kulihat dia menaro bukunya di bawah tempat tidur. ”oh, dikit!!!” aku menjawab sambil menyerakan botol sabun tersebut. Kulihat dia mengambil botol sabun itu dari tanganku, dan nampak jelas cincin yang terpahat di jari manisnya berkilauan. ”Makasih” dia berkata manis sekali, hingga tak tahan jiwa ini melihatnya. Aku mengangguk sambil mataku menatap tepat ke wajahnya dan aku tak tau siapa yang memulai, kami telah berpelukan dan bercumbu di atas kasur yang rapi itu. Setelah itu aku hanya bisa diam membisu. Aku duduk di samping tempat tidur sambil menunduk menatap lantai kamar Aldila. Aku tak habis piker mengapa aku melakukan hal terlarang itu. Di dalam pengelihatanku yang tak bertumpu itu aku menangkap bayangan buku yang ditaroh Aldila di bawah tempat tidur. Dengan perlahan aku meraih buku itu. Pelan dan dengan tatapan kosong mataku menjelajahi buku itu, ”Oh, rupanya ini buku porno!” aku bergumam dalam hati. ”Pantas saja Aldila sangat bergairah.” Pikirku dalam hati. Kembali kupandangi tubuh Aldila yang berbaring di atas tempat tidur yang tadi rapi tapi kini sudah sangat lusuh. Dia tampak cantik dalam keadaan apapun, termasuk saat tidur. Tapi sekali lagi aku menyayangkan kejadian ini, ”mengapa ini bisa terjadi?” aku bertanya dalam hati. Aku mencium kening Aldila dan bergegas meninggalkan kamarnya. Kumasuki kamarku dan kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang berantakan. Kulihat gambar porno itu masih setia menjaga pintu kamarku. ”Dari mana aja lo?” Rendy bertanya sambil merapikan barang-barangnya. Aku tak menghiraukan Rendy, aku masih mengingat kejadian yang baru saja aku alami. ”Ki, gua nitip Nabila ya!” Rendy bicara dengan nada renda, matanya menatap tepat ke wajahku sambil mengeratan tali yang membalut barang-barangnya. Sejenak aku terkesiap, Nabila! Aku melupakan Nabila. Aku merasa aku menghianati hatiku dengan kebodohan yang baru aku lakukan. ”Ren, lo percayain aja Nabila ama gua, pasti gua akan menjaganya.” Aku berkata sambil bangkit dan menepuk pundak Rendy. ”Gua tau lo pasti bisa Ki, karena lo emang sahabat gua. Tapi gua harap lo bisa nggantiin posisi gua di hati Nabila.” Rendy berkata sambil tangannya dirangkulkan kepundaku. Aku diam sekejap, sampai keluar kata-kata spontan, ”Ok man, gua akan berusaha menjadi lo di hati Nabila.” Aku tau maksud Rendy, dia menyerahkan Nabila sepenuhnya kepadaku. Di sisi lain aku gembira, tapi di lain sisi aku merasa ditampar oleh keputusan Rendy, karena aku merasa sangat berdosa kepada Rendy, Nabila dan Aldila. Dalam hati aku menangis, sampai tangisanku tertahan saat Rendy menjemput kopernya dan berpamitan kepadaku. ”Man, gua pergi, gua harap lo bisa pegang janji lo. Ok!” Rendy merangkulku erat dan aku hanya bisa diam. ”Ok Ren, lo ati-ati ya di Surabaya, gua do’ain lo sukses abis di sana.” Aku berkata dengan agak terbata dan Rendy meninggalkanku sambil mencopot gambar porno yang ada di belakang pintu kamar kosku. ”Benda ini harus disingkirin” Rendy berkata dan berlalu. Diluar ku dengar Rendy berpamitan kepada ibu kos dan sayup-sayup kudengar ibu kos menangis. ”Nenek sihir bisa nangis juga!” Seruku dalam hati. Setelah itu aku dikagetkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. Dengan malas kubuka pintu yang suda tidak didampingi oleh gambar porno itu lagi, dan betapa kagetnya aku saat aku lihat siapa yang datang. Aldila berdiri tepat di depan pintu dengan berpakaian rapi serta koper yang duduk disebelah tempat dia berdiri. ”Rik maafin aku ya,” aku mendengar ucapan itu seraya berbisik. ”Memangnya kenapa Dil? Kamu…” belum sempat aku menjawab, Aldila menutup mulutku dengan jemarinya yang dihiasi cincin bertahtakan permata. ”Aku harus pergi.” ”Tapi mengapa?” Aku bertanya tak mengerti. Belum sempat Aldila menjawab, Rendy berjalan ke arah kami seraya berkata, ”Sayang kita berangkat sekarang yok!” Rendy berkata sambil merangkul pundak Aldila. Aku tercengang, aku bingun dengan keadaan sekarang ini. ”ki, ini Aldila tunangan Gua. Cantik kan?” Rendy berkata seraya mengelus cincin di jari manis Aldila. ”Ini cincin pertunangan kami!” Dia menambahkan. ”Ayo sayang kita berangkat! ki gua balik ya!!!!” Rendy dan Aldila berlalu menuju pintu keluar kosku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa terdiam, tak percaya dengan apa yang aku alami. Aku melihat Aldila menatap sedih ke arahku, dan sepertinya dia ingin mengucapkan sesuatu. Lama aku berdiri di muka pintu, aku tak tau pasti sudah berapa lama aku dalam kebisuan, hingga akhirnya aku dikagetkan oleh ibu kos yang menepuk pundaku. ”Kenapa, lo pengen kawin kaya Rendy ya?” Aku tak memperdulikan ucapannya. Aku memasuki kamar dan merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Pikiranku tak karuan. Aku masih memikirkan apa yang telah terjadi. ”Pertama Rendy menitipkan Nabila kepadaku, lalu aku bertemu dengan Aldila, lalu aku melakukan itu dengan Aldila, lalu Rendy meminta agar Nabila menjadi kekasihku, lalu Aldila adalah tunangannya Rendy, lalu……. Aku tersentak dari bayangan-bayangan yang menyelimuti diriku saat aku melihat Aldila di sudut kanan pelupuk mataku. Dia tersenyum manis dan memanggilku mesrah. ”Riki!” Dengan bergegas aku menghampirinya. Aku merasakan aroma mawar itu, dan tanpa kusadari aku telah berhadapan dan berpegangan tangan dengannya. ”Aku hanya ingin memberi tau bahwa sebaiknya kamu lupakan apa yang terjadi tadi. Anggaplah itu dosa termanis yang pernah kau lakukan. Dan….” Sayup-sayup kudengar suara ibu kos. ”Rupanya sudah pagi!” seruku dalam hati. Aku bergegas mandy dan berpakaian. Hari ini aku ingin bertemu Nabila. Memang benar kata Aldila dalam mimpiku, bahwa sebaiknya aku menganggap semua kejadian tadi malam tidak pernah terjadi. Aku meninggalkan kamarku saat kulihat jam dinding menunjukan pukul sembilan, dan ketika melihat kebelakang pintu aku agak canggung karena si Porno penjaga pintu sudah tidak ada. Sesampainya di kampus, aku langsung mencari Nabila. Mataku yang liar mencari dari sudut ke sudut, dan akhirnya aku menemukan Nabila sedang duduk di koridor kelas sambil membaca buku. ”Nabila” kataku pelan. Nabila hanya menatapku sebentar dan tersenyum. ”Rendy mana?” ”Kamu belum tau?” aku balik bertanya dan kami saling berpandangan dan Ku lihat wajah Nabila agak bingung. ”Memangnya ada apa?” Lalu aku menceritakan semuanya, bahwa Rendy telah pulang ke Surabaya dan dia akan menikah dengan Aldila, tetapi aku tidak menceritakan perihal aku dengan Aldila tadi malam. Mendengar ceritaku wajah Nabila mendadak pucat, pandangannya kosong, tetapi tidak meneteskan air mata. ”Kamu tidak apa-apa?” Lalu Nabila memelukku.” Aku merasakan getaran lain di pelukan itu. Mungkin menurut Nabila itu pelukan biasa, tetapi bagiku ini sangat berharga. Aku mulai mendengar isak tangis dari Nabila yang semakin lama semakin kencang. Aku melepaskan pelukan kami dan berusaha menenangkannya. ”Nabila, kamu jangan sedih. Walaupun tidak ada Rendy di sini, bukankah masih ada aku?” ”Aku tidak sedih karena tidak ada Rendy!” ”Lalu?” Aku bertanya penuh harap. Dalam hati aku berkata, ”Apa yang terjadi? Mengapa kepergian Rendy tidak membuatnya sedih? Lalu apa yang membuatnya sedih?” Pertanyaan itu melintas begitu saja. ”Kenapa Bil?” aku mendesak. Lalu ku dekap Nabila yang menangis lebih keras, dan ia berkata dengan agak terbata, ”Aku hamil!” Otakku hampir meledak saat kudengar kata-kata itu. Dalam hati aku mengutuk Rendy, ”bisa-bisanya Rendy meninggalkan nabila pada saat dia hamil. ”Apakah Rendy tau kalau kamu hamil?” aku bertanya agak gugup sambil menarik rumput liar di depanku. ”Belum, hari ini aku baru ingin memberitaunya.” Otakku berputar mencari jalan keluar. ”Rendy sudah tidak mungkin kembali ke sini, dan dia telah menyerahkan Nabila sepenuhnya kepadaku.” Pikirku dalam hati. Lalu dengan tegas aku berkata, ”Baik, aku mau bertanggung jawab!” Nabila agak kaget mendengar pernyataanku, sejenak dia berpikir dan selanjutnya dia memeluku sambil menangis. Keputusan ini bukan semata karena Rendy dan cintaku kepada Nabila, tetapi ini menyangkut masa depan Nabila dan persahabatan kami. Satu tahun telah berlalu. Kini statusku adalah suami Nabila dan aku bekerja di perusahaan ayahnya. Perkawinan kami sangat bahagia, walaupun kami tau anak kami yang pertama bukan hasil dari hubungan kami. Aku mengaduk-aduk berkas-berkas yang ada di meja kerjaku. Aku mencari sepucuk surat yang ditaroh sekertarisku. Tiba-tiba pandanganku berhenti saat aku melihat amplop putih di atas buku jurnalku. Perlahan aku buka dan mulai ku baca. Surabaya, 24-8-2005 Dear Riki, Apa kabar lo? Gua harap lo baik-baik sama kaya gua di sini. Oh ya, gua dengar lo udah nikah dengan Nabila dan udah punya anak ya? Cerdas juga lo! Dalam hati aku berkata, ”Dia tidak tau kalau itu anaknya!” Lalu aku mengambil kaca mata, karena tulisan Rendy mulai berantakan dan tak jelas di mataku. Bagaimana Nabila, apa dia masih cantik? Gua harap lo bisa membahagiakan Nabila. Ok! Oh ya, tepat saat gua nulis surat buat lo, anak gua yang pertama lahir! Laki-laki dan ganteng. Tapi gua amat-amati mirip banget ama lo. Mungkin ibunya ngeliatin photo lo mulu saat ngidam. Udah dulu ya sobat, kita sambung lain waktu. Regards Di dalam amplop, aku menemukan dua photo, yang satu photo pernikahan Rendy dan Aldila, dan yang satu lagi photo bayi yang sangat tampan. Aku mengamati photo bayi itu, ”Benar kata Rendy, dia sangat mirip denganku!” seruku dalam hati, dan aku mengambil kesimpulan bahwa dia adalah anakku. Aku tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi. Anak Rendy ada padaku, dan anaku ada pada Rendy. Ya, ini sangat lucu cekali! Ini bagaikan cinta segi empat antara dua keluarga. Ah sudahlah, kenangan ini biar kupendam dalam hati. Yang jelas hidupku akan kujalani bersama istriku tersayang yang sangat ku sayangi!

cerpen cinta : pengertian

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

Pengertian! Sebuah kata yang sangat sederhana tapi memiliki arti yang sangat besar dan sangat sukar untuk dilaksanakan dalam sebuah hubungan. Tanpa pengertian sebuah hubungan akan sulit untuk tetap bertahan. Seperti itulah yang terjadi dalam hubunganku saat ini. Aku harus menjadi seorang cewek yang harus bisa mengerti terhadap kesibukan kekasihnya. Semua teman-temanku selalu menanyakan tentang Aldi kepadaku dan itu membuat aku senewen karena sudah satu minggu Aldi menghilang dari peredaran duniaku. Tak ada pesan, tak ada kabar. Setiap saat aku menunggu berita darinya tapi harapanku sia-sia. Di hatiku timbul berbagai pertanyaan. Kenapa Aldi tidak menghubungiku? Apa aku telah berbuat salah? Bukannya aku memaksa Aldi untuk selalu bersamaku hanya saja aku punya pengalaman tidak mengenakan tentang pergi tanpa pesan. Karena 4 tahun yang lalu aku pernah pacaran dan orang itu menghilang dari peredaran duniaku tanpa meninggalkan pesan apapun dan sampai sekarang aku masih belum tau jawaban kenapa dia menghilang tanpa pesan. Dan aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Aku ingin kalo memang Aldi tidak menginginkan aku lagi, aku ingin dia bicara terus terang sama aku. walalupun itu akan menyakitkan aku tapi lebih baik dari pada pergi tanpa pesan. Akhirnya aku mencoba mengirim pesan ke Aldi menanyakan kabarnya. Lama aku tunggu ternyata pesanku dibalas. Isinya cuman bilang kabarnya baik dan sekarang lagi sibuuuuuuuuuuuuk banget. setelah itu gak ada kabar berita lagi. Aku berusaha sabar dengan berpikiran positif bahwa dia benar-benar sibuk. Aku berusaha menjadi seorang gadis yang pengertian dengan situasi perkerjaan kekasihnya yang memang sangat padat. Aku bersabar untuk tidak mengganggunya. Pertahananku goyah, aku kembali seperti orang gila mengirim pesan hanya untuk sekedar menyapanya atau mengatakan kalo aku sangat merindukannya setiap hari walaupun aku tau aku tidak akan mendapat balasan darinya. Sampai-sampai aku menumpahkan semua yang aku rasakan saat ini di pesan itu sampai pulsaku habis. Aku sudah lelah dengan ketidakpastian ini dan aku ingin segera mendapatkan jawabannya. Hatiku selalu menjerit menyebut namanya dan berharap dia hadir di hadapanku, tapi semua hanya harapan semata. Entah kapan hal itu akan terwujud. XXX“Kok ngelamun sendiri. Perlu ditemanin gak?” Sapa suara yang sangat aku kenal yang sangat aku rindukan belakangan ini. Aku menoleh kearah suara itu. Terlihat wajah tampan dengan senyum yang sangat aku kenal selama ini.“Mas Aldi?” Sahut terkejut dengan kehadirannya yang tidak aku sangka-sangka. “Sendirian Tia? Apa kabar?” Tanya Aldi mendekatiku dan duduk disampingku. Aku mengangguk mengiyakan. Sejuk rasanya hatiku melihatnya dihadapanku saat ini. Ingin rasanya segera memeluknya dan menumpahkan semua perasaan marah dan kesalku padanya selama ini. Tapi anehnya aku hanya bisa terdiam memandang wajahnya semua perasaan kesal dan marah yang ada dihatiku selama ini tiba-tiba sirna saat aku melihat raut wajahnya yang terlihat begitu letih kurang istirahat. Sebegitu sibuknyakah ia? Kurangkah waktu istirahatnya? Aku jadi merasa bersalah karena telah berpikiran yang tidak-tidak tentang dia selama ini. “Tia, kok malah diam. Gak senang ya aku datang? Kalo gitu aku balik aja deh.” Sahut Aldi seraya berdiri tapi tanganku langsung meraih tangannya dan menggenggamnya. “Maafin aku Mas.” Hanya itu kata-kata yang bisa aku ucapkan. Aldi kembali duduk disampingku dan meraihku kedalam pelukannya yang hangat. Pelukan yang sangat aku rindukan dan aku inginkan selama ini. “Mas Aldi pasti sangat lelah ya. Maafkan aku ya.” Sahutku penuh nada bersalah.“Kenapa minta maaf memangnya kamu salah apa? Aku yang harus minta maaf karena aku mengabaikanmu, tidak pernah menghubungimu. Maafkan aku Tia. Aku sangat merindukamu tapi aku tidak punya kesempatan membalas pesan-pesanmu. Pekerjaanku sangat padat menyita hampir seluruh waktuku. Aku diam karena aku butuh istirahat. Selama ini aku selalu pulang jam 4 pagi dan harus berangkat kerja lagi jam 7 pagi. Cewek yang tidak mengerti pekerjaan dan tanggung jawabku pasti akan selalu protes. Maaf kalo aku masih belum punya waktu untukmu. Karena saat aku kerja aku dilarang menggunakan ponselku. Maafkan aku.” Sahut Mas Aldi membelai rambutku lembut.“Aku juga minta maaf karena setiap hari sudah mengirim pesan-pesan yang pastinya membuat Mas Aldi terganggu. Salah aku karena tidak mengerti dengan kesibukanmu. Salah aku karena aku selalu ingin bersamamu. Maafin aku juga Mas.” Sahutku sambil memeluk tubuh kekar yang selama ini aku rasa hilang dariku. “Udah gak usah sedih sekarangkan aku ada disini walaupun bukan untuk waktu yang lama. Aku senang menerima pesan-pesanmu selama ini. Hal itu menjadikan hiburanku saat aku merindukanmu.” Aldi meraih wajahku dan mencium keningku dengan rasa sayang yang sangat aku dambakan. “Aku sayang Mas Aldi.” Sahutku sambil memeluk Mas Aldi erat tak ingin melepaskannya.“Aku juga sayang.” Sahut Aldi membalas pelukanku. “Aku janji akan lebih mengerti kesibukan Mas Aldi, tapi aku hanya mohon satu hal usahakan untuk kasih kabar.” “Iya sayang aku janji akan aku usahakan. Ayo senyum donk kamu cantik kalo senyum. Makasih udah mau mengerti aku dan pekerjaanku ya

cerpen cinta : cinta hanya nafsu

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

Lepas dari seragam biru putih kuberanjak ke masa dewasa,kuharap aku dapat hal yang akan lebih seru aja namun tak seperti apa yang aku harapkan.....................!!!!!!!!!!!!!!!
krrrrrrrrrrrrriiiiiiiiinnnnnnnnnngggg jam weker ku berbunyi,uuaaaaahh masih ngantuk banget nh tapi apa boleh buat ni hari pertama MOS(masa orientasi siswa ).Gak kerasa udah smp sekarang,bergegas aku mandi,ganti baju trus berangkat g sempet sarapan hehe maklum bangun kesiangan sih.
karena berangkat terburu2 jadi sampai d sekolah sampai2 nabrak seseorang co yang aduhhhhhhhhh g kebayang deh gmn nyeritain sosok dia.
"maa maaf ya kak g sengaja?"celah aku
"iya gpp kok santai aja!kamu gpp?"cowok itu ngejawab
"wow dah keren baik pula siapa yang jatuh hati ma dia!!"ucap akudalam hati.
"hai km gpp kok bengong?"tanya cowok itu penasaran.
"i..i...iii...ya kak gpp,makasih!"jawab ku tegagap gagap.
"kenalin aku Andy,km siapa?"jwb cowok itu
"salam kenal aku Nira anak baru>"jawab aku.
"salam kenal jg."jwb andy
setelah kejadian itu kami jadi akrab tapi ada sesuatu yang mengganjal d hati dan aku g ngerti apa itu????,kita sering ngobrol bareng,jalan bareng dan tiap hari dia telphone aku hua kebayang g sich gmn???tapi semakin hari deket ma dia kok aku jadi deg-deg an gini ya!aku bertanya-tanya sendiri kenapa?apa?bagaimana orang yang selama ini aku anggap kakak yang begitu perhatian ma aku .Wah ada yang bener nh sama diriku,akhirnya aku putuskan buat bertanya ke dia,
"kak apa da yang salah sama hubungan kita?"tanya aku dengan nada bimbang.
"maksud kamu apa?"jawab andy
"ngak gt,soalnya ada yang aneh sama aku,kenapa ya?kalo deket ma km aku jadi deg-deg an gini?"tanya aku.
"ya itu cuma perasaan kamu aja kali?"jwb andi sekenanya
"emang kamu tuh ngangep aku apa sih?"tanya aku
"kamu adalah bagian dari hidup aku yang penting."jwb andy serius
"serius?"
"ya.kalo km anggep aku apa?"tanya andy balik
"kamu adalah nafas dan detak jantungku!"
Kita sama-sama tersenyum karena baru sadar kalo kita saling suka dan saling sayang.Tanpa sadar kita pelukan dan saling ciuman panas,setelah beberapa saat kami terhenti dan saling pandang dan tertawa.wah inikah cinta.
Mungkin aku anggepni awal yang sangat indah tapi tak seperti yang aku pernah bayangin dia pergi tinggalin aku selingkuh dengan orang lain karena kau gak mau diajak ml ma dia.kurelakan hati ini!!!

cerpen cinta : cinta di ujung jalan

label:cerpen cinta,cerpen persahabatan

Malam Senin yang basah.Hujan turun sejak pukul enam sore tadi. Derasnya tidak berkurang dan menimbulkan suara berisik di atap rumah. Angin malam yang masuk melalui kisi-kisi jendela menusuk tulang punggungku. Beberapa kali ketukan ujung ranting pohon di kaca jendela memberikan irama sela di tengah derasnya hujan.Lima belas menit jelang tengah malam. Sepertinya aku akan menjadi makhluk malam lagi, seperti dua tiga malam sebelumnya.Monitor komputer berkedap-kedip dengan cepat. Proposal Praktikum Pembuatan Kompos ini baru selesai separuh, belum masuk ke Tinjauan Pustaka padahal buku-buku referensi sudah siap dibuka. Tinggal mencari halaman sekian agar isinya bisa aku salin. Namun kesepuluh jari tanganku hanya mengambang di atas keyboard komputer.Aku duduk diam.Satu menit, dua menit… dua setengah menit berlalu tanpa sedikit pun memindahkan kursor komputer. Pendar-pendar sinar monitor yang memenuhi ruang mataku seakan-akan mengurungku supaya tetap tidak bergerak.Aku buntu. Miskin ide.
Tiba-tiba aku ingat dia. Hei, kenapa mesti dia? Bukankah aku sekarang sudah punya pacar, bahkan sudah siap menjadi calon suami? Seharusnya yang sekarang-lah yang aku ingat, bukan yang tertinggal.Sedang apa kamu di sana? Di sana, entah di mana. Tentu saja aku tidak tahu karena kamu menghilang sejak enam tahun lalu. Tanpa alamat, tanpa berita. Surat-surat yang sengaja aku tulis tak pernah dikirim untukmu. Menumpuk begitu saja di dalam kotak harta (begitu kita pernah menyebutnya) bersama foto-foto kita yang sudah mulai menguning.Semua karena aku masih ingin mengenangmu. Jangan salahkan aku. Tolong, jangan larang aku. Yang sesungguhnya aku rasakan tidak pernah kamu tahu. Apalagi mengharapkan kamu untuk lebih mengerti. Karena kamu begitu jauh. Ataukah karena sebenarnya kamu terlalu dekat di hatiku?Whoooahmm…Aku menguap sekali. Angin menerobos ventilasi, membelai leherku. Dingin. Agaknya hujan mulai reda. Tidak terdengar suara berisik lagi. Mouse kugeser ke kiri, ke kanan, lalu melingkar-lingkar. Sekali lagi aku menguap.Aku kembali mengetik. Entahlah, apa benar yang sudah aku ketik. Peduli amat.Pluk.Seekor cicak jatuh di atas printer. Aku kaget. Ternyata mataku nyaris tertutup. Sampai mana ketikanku tadi?Ugh, kenapa malam memaksa aku berpikir bukannya menuntunku untuk tidur? Lagu. Bodoh, kenapa tidak memutar lagu saja? Barangkali mampu meredam kantukku. Banyak kaset di laci lemariku. Pop Indonesia, Barat, India -nyaris ada semua- kecuali dangdut dan keroncong. Kaset-kaset itu aku koleksi sejak SMP. Bahkan ada beberapa yang sudah jamuran namun tetap aku simpan.Bryan Adam. Terlalu lembut. Firehouse. Yah, lumayan menghentak. Megadeth? Eh, kaset siapa yang nyasar di sini? Bukan milikku, barangkali salah seorang teman kampusku meninggalkannya di sini. Atau Ebiet G. Ade? Enggak ah, nanti tambah ngantuk. Oh, gimana kalau Bon Jovi? Tidak apa bukan? Mendengarkan slow rock tidak akan menganggu penghuni kamar sebelah yang mungkin sudah hanyut dalam sungai mimpi.This romeo is bleeding, but you can’t see his blood… It’s nothing but some feelings, that this old dog kicked up… It’s been raining since you left me, now I’m drawning in the flood… You see I’ve always been a fighter, but without you I give up…Aduh, kenapa Always yang pertama keluar? Hanya akan mengingatkan aku tentangnya. Bukankah ini lagu yang kamu nyanyikan saat malam perpisahan SMU? Yang khusus kamu persembahkan untukku, membuat aku tersanjung.Kamu masih suka memetik gitar tua itu, yang kau sebut pacar kedua -setelah aku- itu? Tentu saja, musik adalah duniamu, setelah panjat tebing dan hiking. Menurutku hobimu yang lain (pasti kamu enggak sadar) adalah menaklukkan hati para gadis. Dengan senyum tanpa dosa tidak akan ada yang menolak ajakanmu. Termasuk aku.Salahkah bila aku sering membayangkan wajahmu. Dosakah? Cuma membayangkan saja, bukan suatu pengkhianatan, kan? Sungguh, sebesar apa pun keinginanku untuk menghapus ingatan tentangmu, sebesar itu pula ketidakmampuanku untuk melakukannya. Sungguh, aku masih sangat mencintai kamu.
Memang benar kata orang, cinta pertama itu tidak akan pernah mati. Yang paling berkesan. Paling manis. Sekaligus juga pahit. Seperti itulah yang pertama, bukan?Mungkin jalan satu-satunya adalah aku ikut program pencucian otak.Saat tidak ada kerjaan, lebih senang mengingatmu. Saat bertengkar dengan pacarku, lebih nyaman bersama bayanganmu. Menggambar jengkal demi jengkal bagian tubuhmu, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menuangkannya ke dalam kanvas hatiku. Rambutmu yang panjang menggelitik, sepasang mata elang di bawah naungan alis hitam, serta bibir tipis yang selalu basah dan mengurai senyum meneduhkan. Aku hapal wajahmu. Setiap gurat di sana bisa aku ingat, berharap wajah yang aku lukis selalu tersenyum dan menyapaku di ujung malam. Tapi, apakah waktu enam tahun merubah semuanya?Aku kangen kamu.Kangen sapaan ‘selamat pagi’ yang selalu kamu berikan di depan pintu kelas. Kangen genggam tanganmu yang menuntunku turun dari sepeda saat mengantarku pulang. Kangen bisikan lembutmu saat membujuk hatiku. Juga lelucon konyolmu yang tidak pernah habis.Aku kangen semua tentang kamu. Benar-benar.Bed of Roses terdengar. Sejak kapan lagu demi lagu berganti? Rupanya aku keasyikan melamun. Keasyikan melukis kamu. Ah, peduli amat.
Tengah malam.Aku benar-benar menjadi makhluk malam.Sudah empat kali dalam seminggu ini. Banyak tugas baca, makalah, dan presentasi yang menguras isi kepala dan energiku. Aku sering tertidur pukul satu dinihari kemudian terjaga sejam berikutnya. Tidak mimpi. Tidak ada yang membangunkan. Ya, otomatis saja. Sudahlah, pergilah semua bayangan tidak diundang dari kepalaku. Aku harus menyelesaikan tugas. Besok harus sudah presentasi di hadapan dosen dan teman-teman sekelas. Harus bagus, atau aku tidak boleh ikut midsemester.Tiga buku setebal lima senti menenggelamkan kepalaku. Ini semuanya akan aku baca? Berbahasa Inggris pula. Di antara tiga buku hanya satu yang berbahasa Indonesia. Gila, memangnya aku kamus berjalan? Kalau kamu, mungkin iya. Di SMP dan SMU, semua guru bahasa Inggris memuji kepintaranmu. Kosakata yang kamu kuasai jauh melebihi kemampuanku.‘Dengan cara menghapal sepuluh kata setiap hari, tinggal dikalikan, maka kamu tidak akan percaya hasilnya.’Seperti itulah yang kamu bekalkan untukku. Kamu memang pintar, kok. Salah satu kelebihanmu yang sukses menjerat hatiku.Lagi-lagi aku memikirkannya. Ada apa ini? Lupakan. Berusahalah ingat yang lain. Ingatlah seseorang yang nun jauh di sana, yang sedang berjuang untuk kebahagiaan dan masa depanku.Nggak bisa. Hhh, aku memang nggak mau.Aku bosan memikirkan yang sekarang. Terlalu sering. Senyum untuk dia, waktu, bahkan sampai airmata. Aku mau penyegaran. Suasana lain, bersama yang lain. Lagipula aku tidak bersama wujud nyata, hanya lamunan. Kan, tidak salah? Becanda dengan bayangan, tidak akan ada yang tahu, kan? Kecuali Dia tentunya.
Kepalaku ini sulit dikontrol rupanya. Sekali dibiarkan bebas maka akan berkelana sebebas-bebasnya. Tidak perlu mengerti kesusahan pemiliknya. Aku sedang sibuk. Aku sedang menguras isi otakku. Mencari-cari kalimat yang pas buat proposalku.Tombol-tombol keyboard mulai aku tekan dengan kecepatan luar biasa. Isi otakku mengalir deras dan tidak mau aku stop, karena sekali aku stop maka selamanya akan hilang. Mumpung masih segar dan mumpung pikiranku sedang konsen ke satu hal saja, kerjakan sekarang juga.Pengertian Sampah… Pembagian Sampah… Sumber Sampah…Apa ini? Bahasa Inggris lagi. Mana kamusku? Di mana aku letakkan tadi? Aduh, aku begini ceroboh dan tergesa-gesa. Selalu ada yang berantakan dan tertinggal. Tidak pernah teratur dan rapi. Ah, sebodo amat. Aku tidak perlu berdiskusi tentang ini.Cepat, tinggal dua paragraf lagi. Setelah itu masuk ke Metodologi Pembuatan Sampah. Gampang, sudah ada konsep. Tinggal aku ketik dengan penambahan di sana sini sebagai pemanis. Ketua kelompok sungguh baik hati, bersedia menulis serapi ini. Mungkin dia sudah tahu kalau aku bakal kelelahan.Krriiiinnngg!Siapa lagi malam-malam begini? Krriiinngg! Pantatku terangkat. Tanganku terulur siap meraih knop pintu. Sialan, tak ada suara lagi. Siapa pula yang usil. Sukanya mengganggu ketenangan orang.Aku duduk kembali. Lho, sepi? Ternyata kaset Bon Jovi side A sudah habis sejak lima menit yang lalu. Aku segera membaliknya. I wake up in the morning, and I raise my weary head… I’ve got an old coat for a pillow, and the earth was last night bed… I don’t know where I’m going only God knows where I’ve been… I’m a devil on the run, a six gun lover a candle in the wind, yeah… Setiap beat lagu itu memberikan stimulus agar aku bekerja kembali.Jemariku terpaku di atas keyboard. Sial, ke mana semua kalimat yang sudah aku susun tadi? Pasti gara-gara dering telepon kurang ajar itu!Kalau saja dia ada di sini pasti aku dibantu. Tangannya ringan dalam membantuku. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah bertanya kenapa, atau pun memberikan nasihat sepanjang Jabotabek.‘Lain kali lebih teliti.’Hanya itu katanya. Tidak lebih.Cinta pertama. Tidak akan pernah habis untuk diceritakan. Seperti sebuah drama teve yang sekarang sedang booming di kalangan remaja dan orang tua. Apa itu judulnya? Meteor Garden? Setiap kuliah kosong, di setiap sudut kelas membicarakannya. Setiap tangan memegang gambar atau fotonya. Bla, bla, bla….Lho, malah ngelantur? Yah, cinta pertamaku memang tidak akan habis atau memudar. Kalau dijadikan bahan novel, bisa setebal 200 halaman bolak-balik. Belum ditambah cover eksklusif dan halaman persembahan.Waduh, otakku kacau lagi. Mungkin aku memang harus masuk program cuci otak.Lalu kenapa putus?Pertanyaan simpel tapi jawabannya serumit benang wol yang dijadikan mainan si Pussy. Bukan mauku untuk putus. Bukan rencanaku untuk meninggalkannya. Semua bukan bermula dari aku. Andai masih bisa memilih, aku akan memilihnya.Bermula dari seseorang yang aku sebut ‘ibu’ dalam keluarga. Yang sudah mempertaruhkan nyawa agar aku melihat dunia, bangun di tengah malam karena aku menangis minta susu, dan mengajari ucapan ‘ayah, ibu’ sampai lidah rasanya kelu. Ibu. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.Semua orang tua mengharapkan yang terbaik untuk anaknya Begitulah kata nenek, tiga hari sebelum beliau berpulang. Apalagi untuk anak semata wayang yang diserahi tanggung jawab total membawa nama baik keluarga, seperti aku. Harus begini, harus begitu. Jangan bergaul dengan ini, jangan dengan itu. Aku boleh memilih tapi tetap menyesuaikan dengan keinginan ibu. Sama saja bohong, kan? Ibu mengharapkan yang terbaik untukku, tapi ‘terbaik’ menurut beliau.Dia pintar. Dia siswa teladan. Dia luar biasa baik hati. Bak pangeran negeri antah berantah. Tidak pernah mabuk-mabukan. Mencium bau bir saja membuatnya muntah. Bukan pecandu narkoba, seperti yang sekarang merebak di kalangan pelajar. Dia bersih lahir bathin. Lalu apanya yang salah?Keluarganya.Menurut penilaian orang-orang di sekitarku, ayahnya bukan contoh yang baik. Seorang laki-laki yang telah menanamkan benih ke wanita yang bukan istri sahnya. Ialah ibunya. Tapi dia bukan anak haram. Dia cuma anak yang kurang diinginkan.Napasku tersendat, sudut mataku terasa hangat.Sungguh cengeng. Kembali ke masa-masa itu akan memaksaku untuk menangis. Bukan terharu pada keluarganya yang broken home, namun sedih akan kenyataan yang aku anggap tidak adil. Perpisahan yang tidak aku mau, begitu jauh, begitu lama…Aku tidak yakin dia ingat bentuk wajahku. Ingat lekuk tubuhku saat melintas di dekatnya. Ingat suaraku saat aku menyapa. Atau bagaimana aroma rambutku yang dulu sering diciuminya. Waktu sudah habis demikian banyak, memberi kesempatan untuk suatu perubahan. Dan setiap manusia pasti akan mengalami perubahan, bukan?Sudahlah.Berhenti memikirkan hal-hal yang sentimentil. Berhenti sok romantis. Sok puitis. Hanya akan membuka luka lama. Membuatnya menganga dan berdarah lagi.Bukan ini yang aku harapkan. Tidak. Aku juga ingin lepas dari belenggu masa lalu. Lepas dari ikatan benang merah yang pernah ia ikatkan di kelingking kiriku. Melepaskan bola-bola cinta yang merantaiku ini.Tolong, bantu aku. Jangan hanya kau pandangi aku dari kejauhan. Jangan hanya bergerak sebagai bayangan membisu. Genggamlah tanganku untuk terakhir kali. Bisikkan suara lembutmu untuk terakhir kali.Untuk mengucap kata ‘selamat tinggal’ untukku.Pipiku membasah. Selalu berakhir begini.Monitor komputer tetap berkedap-kedip. Pendar sinarnya tetap menyeruak ke dalam mataku, menambah panas.Bon Jovi tetap menyanyi.Dan aku tetap duduk, mencoba menyelesaikan tugasku hingga akhir.Biarlah seperti ini. End