Kamis, 27 Agustus 2009

cerpen cinta : Cinta terlarang

“Kalau memang mungkin, saya pasti sudah ambil kamu untuk jadi istriku Wi....”, kata Bang Farhan kepadaku suatu hari ketika kami sedang duduk di sebuah café yang lokasinya agak jauh dari kantor tempat kami bekerja.

“Tapi itu tidak mungkin, sangat mustahil kalau harus saya merebut kamu dari ikatan keluargamu, dari suamimu...” lanjutnya dengan suara pelan sambil memandang tajam ke arahku. Kutarik nafas panjang mengusir beban yang hadir di dadaku, terasa sesak dan sangat berat sekali.

“Dewi, keterlibatan hati kita memang sudah terlampau jauh, sulit rasanya buat saya untuk berpikir secara logis, tapi ini adalah sebuah cinta terlarang, itu harus kita sadari. Seandainya saja saya egois, saya tidak memikirkanmu, tidak mempedulikanmu, dan hanya memikirkan diri saya sendiri, akan lebih mudah buat saya dalam mengambil keputusan, saya bebas....., saya seorang duda yang tidak punya tanggungan, yang pastinya akan bisa dengan mudah merebut kamu dari keluargamu. Tapi...., saya terlalu sayang padamu Wi, tidak mungkin saya lakukan semua itu hanya untuk memuaskan ego saya...., tidak akan pernah! Saya selalu menginginkan kamu bahagia, itu sudah cukup bagi saya,”
“Tapi...., dimana kebahagiaan itu Bang....? Aku hanya bisa merasakan kebahagian yang nyata bila bersamamu.” sahutku putus asa.
“Tidak sayang, kebahagiaan yang kamu cari itu sebetulnya ada pada keluargamu, suami dan anakmu, hanya saja pintunya masih belum benar-benar terbuka lebar,” Bang Farhan terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, “Bukalah! Itu adalah tugasmu, raih apa yang ada di dalam ruang itu, dan saya yakin bahwa kamu bisa melakukannya, dengan cinta tentunya...., karena saya sadar bahwa cintamu itu sebenarnya memang milik Dedi, suamimu...”
“Apakah hanya dengan cinta aku bisa mendapatkan Mas Dedi seutuhnya ?” tanyaku bimbang.

“Dengan cinta, ketulusan, kesabaran dan keikhlasan! Dan kamu harus lebih percaya diri, kamu buktikan pada dia bahwa kamu bisa menjadi seorang istri yang dapat dibanggakan dan dihormatinya.” jawabnya dengan senyum yang menenang terukir diwajahnya.
Aku memang selalu merasa nyaman berada didekatnya, selalu saja dapat menghiburku tatkala hatiku sedang gundah, selalu mau meminjamkan bahunya untukku agar aku bisa bersandar ketika aku sangat terlalu lelah menghadapi dilemma dalam kehidupanku, dan selalu bersedia menghapuskan air mataku saat gelombang dalam hatiku tidak dapat tertahan akibat dasyatnya angin yang menerpa. Dia selalu saja hadir ketika aku membutuhkannya, aku sangat bergantung kepadanya, tanpa terasa makin hari rasa ketergantunganku terhadapnya makin bertambah, dan..... ketika suatu hari dia mulai berbicara mengenai seorang wanita yang mungkin akan menjadi pilihan akhirnya, sejak kesendiriannya setelah ditinggal mati istrinya 3 tahun yang lalu, aku demikian merasa sangat terpukul dan kecewa, namun saat itupun aku sadar, komitmen awal kami bersama adalah hanya sebagai sahabat, dalam suka dan duka, saling berbagi dan saling mengisi. Ya....., saat itu aku mencoba untuk dapat menerima, meskipun ada sebongkah kecemburuan di dalam dadaku, dan aku berusaha untuk menampiknya.
***
Mas Dedi, suamiku, adalah seorang lelaki pilihan orangtuaku, pilihanku juga, karena aku sudah jatuh cinta pada pertama kali bertemu dengannya dan dengan optimis aku segera mengangguk setuju ketika orangtuaku dan orangtuanya yang sekarang menjadi mertuaku menanyakan persetujuanku tentang rencana mereka untuk menjodohkanku dengan Mas Dedi, tanpa aku berpikir panjang dan tanpa kutahu sosok seperti apa sebenarnya Mas Dedi, suamiku.
Berbeda denganku, yang penuh dengan rasa cinta, Mas Dedi memutuskan untuk setuju menikah denganku hanya karena saat itu hatinya dendam akibat ditinggal pergi kekasihnya menikah dengan orang lain, dan alasan itu baru kutahu ketika perkawinan kami sudah berjalan 6 bulan dengan usia kandunganku berjalan 2 bulan. Ya..., Mas Dedi menikah denganku tanpa cinta! Hanya pelarian.....! Rasa kecewa yang mendalam terasa sangat membekas dihatiku, tapi aku selalu menjadi seorang yang tegar dan penuh pengertian di depannya, saat dia menceritakan semua itu kepadaku dan meminta ijinku untuk tetap bisa bertemu dengan mantan kekasihnya itu, yang belakangan baru kutahu bahwa dia sudah bercerai dari suaminya.
Kuhapus semua pikiran-pikiran negative yang hadir di otakku, agar aku bisa melihat semuanya dengan jelas dan transparan, namun semuanya tertutup, hari demi hari kulewati dengan rasa gundah, dan satu kesalahanku yang sangat fatal adalah aku seorang istri yang sangat mencintai dan mengagungkannya sehingga tidak bisa berkata tidak dan selalu setuju dengan apa saja yang dikatakan dan dilakukannya, meskipun hatiku harus bercucuran darah menahan semua rasa sakit yang dihadirkannya.
Pernah suatu pagi di hari Minggu, ketika kami sedang berkemas hendak rekreasi membawa Nanda, anak kami, ke Taman Safari, tiba-tiba saja aku melihat dari dalam rumah, seorang wanita muda yang cantik turun dari mobil Honda Jazz berwarna merah terang menghampiri Mas Dedi yang sedang memanaskan mobil di carport. Ya.... wanita itu adalah Rossa, mantan kekasih Mas Dedi, yang pernah aku lihat beberapa fotonya di album foto dalam laptop suamiku. Aku memejamkan mataku menahan rasa ngilu seperti teriris yang tiba-tiba hadir didadaku, entah mau apa dia datang ke sini...?
Dengan rasa kecewa dan sakit karena merasa dikalahkan, aku tetap saja tersenyum, berusaha maklum dan memahami ketika Mas Dedi dengan tegas memanggil Deni adiknya untuk menggantikannya mengantarkan aku dan Nanda rekreasi ke Taman Safari pada hari itu karena dia mendadak harus menemani Rossa ke Bandung menjenguk ibunya yang sedang sakit. Dan dengan sedikit memperlihatkan rasa bersalah dia memintaku untuk bisa mengerti akan keadaannya. Ingin rasanya membatalkan saja rencana hari itu, tapi keinginan itu aku tahan karena aku tidak tega menghancurkan binar-binar kebahagiaan di mata Nanda, anakku.

Sungguh, kejadian demi kejadian berlalu begitu saja, dan aku tetap tidak bisa menjadi diriku sendiri jika berhadapan dengan suamiku, tidak ada kepercayaan dalam diriku terhadap diriku sendiri, sangat sulit sekali membangun itu semua, sampai suatu hari di kantor tempat aku bekerja, datang seorang manager baru bagian marketing menggantikan boss ku yang di mutasi ke luar daerah. Bang Farhan, seorang duda, cukup ganteng menurutku, berwibawa dan punya kharisma, sepintas aku melihat sosok Mas Bagus, kakakku almarhum dalam dirinya, itu yang membuatku merasa sangat dekat dengannya.
Kedekatanku dengan Bang Farhan memang membawa hawa segar pada diriku, karena dia selalu saja dapat menutupi apapun yang tidak dapat dilakukan oleh Mas Dedi, suamiku.
Aku bisa menjadi diriku bersamanya, aku bisa bercerita, aku bisa mengekspresikan diri, dan aku bisa marah kepadanya, ya... aku bisa menjadi diriku seutuhnya bersama Bang Farhan.
Sekarang, disaat aku merasa diriku melambung karena diakui keberadaanku, saat aku merasa sangat bahagia sekali karena ada orang yang secara total menyayangiku, menghargaiku dan menghormatiku, saat aku merasa aman dan nyaman karena ada orang yang melindungiku, yang menolongku, dan saat aku merasa bahwa aku ini hidup, karena ada orang yang mau mendengarkanku, mengharapkan kehadiranku dan membutuhkanku....., ternyata hancur begitu saja ketika Mas Farhan mulai menyinggung masalah masa depan. Masa depan ku dan dia...., dia sangat menginginkan aku bahagia, meskipun dengan menggadaikan kebahagiaanya sendiri. Dan dia tidak rela sesuatu terjadi padaku, dia menginginkan kehidupan keluargaku berjalan normal...

“Dewi, dengan adanya kamu sekarang, cobalah bersikap realistis terhadap suamimu, kalau kamu tidak suka kamu bisa utarakan, sehingga dia bisa tahu...., tapi kalau kamu tetap saja diam dan seolah setuju, selalu menunjukan kepatuhanmu padahal bertentangan dengan nuranimu, diapun akan tetap beranggapan dia betul dan tidak bermasalah terhadapmu. Sementara hatimu sangat sakit, karena pertentangan itu. Sibakkanlah pintu itu Wi, kamu tengok ke dalam, ada banyak kebahagiaan menunggu jamahan tanganmu, percayalah.....!” kata Bang Farhan membuyarkan lamunanku.

“Bang...., apakah cinta lain tidak boleh lagi hadir saat kita sudah terikat....? Aku merasa cinta lain itu sudah ada didalam hatiku Bang ”
Kulihat Mas Farhan tersenyum sedih, lalu menggelengkan kepalanya, “Karena itu akan sangat mengganggu, dan menyakitkan Dewi, menyakitkan bagi kita dan juga orang lain yang terlibat. Memang semestinya dari awal kita menyadarinya sebelum cinta seperti itu hadir dalam diri kita, tapi apa boleh buat, kita tidak kuasa menahannya, dan tanpa kita sadari dia sudah berkembang sangat cepat dalam hati kita, sehingga harus ada keputusan yang jelas, agar tidak berlarut-larut, kamu setujukan dengan apa yang saya katakan...?”

Aku menarik napas panjang kembali, lalu diam terpengkur, mencoba berpikir lebih real lagi, karena mungkin aku terlalu disibuki oleh perasaan-perasaan tertekanku terhadap Mas Dedi. Dan tiba-tiba saja aku mengangguk dan sekali lagi aku optimis, percis sama ketika aku menyetujui untuk menikah dengan Mas Dedi dulu.

Ya...., hidup adalah pertanggungjawaban dan perjuangan, aku harus berani menghadapi semua akibat atas keputusan yang aku ambil saat itu, aku harus berani menghadapi Mas Dedi sebagai suamiku, teman hidupku sekaligus sebagai ayah dari anakku. Dan aku akan berusaha menjadi apa adanya diriku.

“Okey Bang, mungkin memang sudah saatnya aku harus kembali, menata dari awal kehidupanku, bersama suami dan anakku......, tapi Bang Farhan juga harus bahagia, segeralah putuskan sesuatu yang Abang anggap baik, aku tidak akan bisa melihatmu hidup seperti ini, menyendiri dan jauh dari saudara, saya pikir Mbak Eka bisa mulai Abang perhitungkan, karena saya tahu dia benar-benar mencintaimu Bang...., sangatlah bahagia menjadi orang yang dicintai dibanding dengan hanya mencintai.” Kataku sambil tersenyum pasrah, seraya mengaduk juice sirsak yang ada didepanku, kulirik dia dan kulihat pandangan matanya yang sangat tidak jelas maknanya, seperti ada luka yang dalam tergambar di sana, mata yang menatapku tajam.
“Dicintai dan mencintai, itulah kunci kebahagiaan Dewi...., jadi kamu juga harus berusaha membuat suamimu jatuh cinta padamu, dan saya yakin kamu bisa melakukannya.”
“Aku hanya akan berusaha Mas, karena cinta tidak bisa dipaksakan.”
“Memang, tapi kita akan bisa belajar untuk mencintai, segeralah ajari dia, seperti kamu mengajari arti cinta itu kepada saya.” Lalu Bang Farhan mengambil tanganku dan digenggamnya erat sekali.

“Aku jatuh cinta kepadamu, Dewi....., sebuah cinta yang terlarang, cinta yang akan aku simpan dalam ruang hati yang paling dalam....”
“Terimakasih telah mencintaiku Bang, dan akupun akan menyimpan semua kenangan bersamamu dalam sudut hatiku, yang tidak akan pernah terjamah siapapun.”
Kamipun sama-sama tersenyum, meskipun berat pengambilan keputusan itu, namun semuanya sudah ditetapkan dan kami akan berusaha keras untuk berpegang teguh pada pilihan keputusan itu. Tentu saja tidak mudah, tetapi kami harus menghadapinya....., karena tidak ada yang mudah di dunia ini bukan...?
Aku memiliki hari esok dan hari berikutnya lagi...., ternyata masih panjang perjalanan yang harus kutempuh. Hidup memang berbeda dengan impian, sehingga dibutuhkan tekat yang kuat untuk memperkokoh niat yang sudah ditetapkan.
“Betapapun sulitnya aku mendapatkan cinta itu Bang, aku akan tetap kuat dan terus tersenyum, karena aku tahu bahwa cinta yang indah itu sedang bersembunyi dibalik kesulitan yang mungkin belum terlihat olehku. Aku janji padamu, tak akan aku kecewakan dirimu, aku pasti akan bisa menemukan kebahagian itu.....” janjiku padanya, ketika dia melepaskanku di depan pagar rumah, mengantarkan aku pulang, yang kemudian disambut oleh teriakan sayang Nanda, anakku, .....”Mamaaaaaaa.........”
Bagaikan tersiram air yang sangat dingin sekali, sejuk terasa sampai kedalam hatiku..... Ya....kebahagiaanku memang ada disini, di rumahku, bersama suami dan anakku.
Terimakasih Tuhan! Telah Kau bawa kembali hati nuraniku ke sini.

0 komentar:

Posting Komentar