Jumat, 12 Juni 2009

Mimpi Kaum Muda tentang Indonesia Masa Depan


Lalu seorang Ibu dengan bayi dalam dekapan
Datang mengajukan sebuah pertanyaan:
Bicaralah pada kami tentang anak keturunan.
Maka jawabnya:
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, tapi tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu,
Tapi, jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kauberikan rumah untuk raganya,
Tapi, tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kaukunjungi, sekalipun dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun, jangan membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
(Dikutip dari Sang Nabi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1993:22-24)
PUISI bertajuk Keturunan karya Khalil Gibran itu kerap dikutip ketika
membicarakan orang muda atau kaum muda dihadapkan dengan orang tua atau kaum
tua. Gibran tegas mengatakan mereka, kaum muda itu, adalah penghuni rumah masa
depan yang tiada dapat dikunjungi (kaum tua) meskipun dalam mimpi. Kaum tua
(orang tua) boleh menyerupai kaum muda. Tapi, mereka tidak bisa memaksa agar
kaum muda itu menyerupai mereka. Sebab, kaum muda adalah penghuni rumah masa
depan dan kehidupan tidak pernah berjalan mundur.
Mantan Presiden Soekarno memberikan tempat yang tinggi bagi kaum muda. Dalam
bahasa hiperbola, seperti biasanya, Bung Karno menyatakan, "Berikan aku sepuluh
orang tua maka aku akan pindahkan Gunung Semeru. Tapi, berikan pula aku sepuluh
orang pemuda yang bersemengat maka dunia akan aku tundukkan."
Sejarah Bung Karno adalah sejarah seorang pemuda yang bersemangat. Pada 1926,
ketika berumur 25 tahun, Bung Karno telah meluncurkan karya tulis yang sarat
dengan pemikiran besar, bertajuk Nasonalisme, Islamisme, dan Sosialisme. Tulisan
itu berupaya menyintesiskan tiga arus yang diyakininya ada dalam masyarakat
Indonesia, yaitu arus agama, nasionalisme, dan sosialisme. Persatuan tiga arus
itu diyakininya akan menjadi daya dobrak yang tinggi bagi cita-cita menegakkan
Indonesia. Sebuah ide yang baru sempat ia implementasikan ketika sudah menjadi
'orang tua' pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Sayang, ide besar itu
gagal ia implementasikan dalam 'ketuaannya'.
Pada 1933, ketika berusia 32 tahun, ia menghasilkan Indonesia Menggugat--sebuah
pleidoi di depan pengadilan kolonial Belanda yang dihasilkan ketika ia mendekam
dalam penjara. Karya itu menjadi sangat fenomenal karena mengandung semangat
perlawanan yang tinggi.
Tak hanya Soekarno yang sesungguhnya memancangkan cita-cita tinggi dalam
kemudaannya. Hatta, Syahrir, dan sederet tokoh yang kemudian jadi bapak pendiri
bangsa ini juga melakukan hal yang sama. Dalam usia 20-an tahun mereka telah
menjadi duta-duta Indonesia di fora internasional demi kemerdekaan bangsanya.
Semangat orang muda itu itulah yang kini mulai terkikis dalam potret Indonesia
masa kini. Orang muda menjadi minoritas dalam fora-fora nasional, apalagi
internasional, baik secara fisik maupun pemikiran. Lembaga-lembaga kenegaraan,
eksekutif, legislatif, yudikatif, semua diisi 'orang-orang tua'. Sebagian karena
regulasi yang dibuat sedemikian rupa sehingga hanya yang berusia minimal 40
tahun--misalnya untuk jabatan presiden--yang dapat memangku jabatan tertentu.
Namun, tidak bisa dimungkiri, hal itu juga disebabkan bibit-bibit muda yang ada
tidak segera matang.
Kaum muda--sebagian besar mahasiswa--memang berhasil mendobrak kebekuan dengan
menumbangkan rezim otoriter Soeharto pada 21 Mei 1998 untuk mengantarkan
Indonesia pada era reformasi. Namun, mereka tidak segera mengambil alih
kepemimpinan, atau minimal setia, untuk mengawal reformasi itu. Akibatnya, di
tangan orang tua, reformasi mulai berbelok arah. Bibit-bibit otoritarianisme
mulai tumbuh lagi. Korupsi tidak juga mau pergi, bahkan cenderung melebar dan
membesar dengan melibatkan semakin banyak orang. Dalam keputusasaan, beberapa
pihak lantas menganggap masa lalu lebih baik daripada masa sekarang. Padahal,
meminjam Gibran, kehidupan tidak pernah berjalan mundur. Dan, kita tidak boleh
tenggelam di masa lampau.
Pada titik inilah suara kaum muda perlu dihidupkan kembali. Ide 'potong satu
generasi' seperti dilontarkan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ)
beberapa waktu lalu sangat relevan. Maka, tidak seperti edisi akhir tahun
sebelum-sebelumnya, pada edisi akhir tahun 2002 ini Media khusus menampilkan
sosok kaum muda dengan tema Mimpi kaum muda tentang Indonesia masa depan.
Mereka, kaum muda itu, berupaya memberikan sketsa tentang carut-marut Indonesia
hari ini dan coba 'bermimpi' tentang Indonesia esok melalui tawaran-tawaran
solusi.
Tidak semua kaum muda yang ditampilkan sekadar 'bermimpi'. Secara personal
mereka telah menghadirkan 'mimpi' pula bagi kaum muda lainnya. Mereka yang
menawarkan solusi itu adalah intelektual-intelektual yang sedang tumbuh dan akan
terus tumbuh--sebagian besar mereka sedang bertapa di pusat-pusat pendidikan,
baik di Indonesia maupun mancanegara.
Ada pula kaum muda yang menawarkan mimpi lain. Sebut saja Angelique Widjaja dan
Taufik Hidayat. Dalam kemudaannya--Angelique 18 dan Taufik 22--keduanya sudah
mendulang prestasi, ketenaran, dan, the last but not least, kekayaan. Mereka
tidak hanya menggenggam masa depan, tapi juga masa kini. Jalan ke arah itu tentu
tidak mudah. Namun, mereka membuktikan, bila mau bekerja keras, bukan tidak
mungkin masa depan itu digenggam hari ini.
Tapi, siapakah anak muda atau kaum muda itu?
Secara subjektif Media memberikan batasan usia maksimal 35 tahun (lahir 1967)
sebagai mewakili sosok kaum muda. Batasan usia ini tentu masih bisa
diperdebatkan. Untuk bidang olahraga, misalnya, usia 30-35 itu justru sudah
senja dan siap-siap pensiun. Namun, untuk pentas kepemimpinan dan kepemikiran,
usia itu kerap dianggap masih 'bau kencur'.
Bagaimanapun, garis tegas harus diambil. Usia 35 tahun ke bawah itulah yang
diambil Media untuk menghadirkan mimpi, Mimpi kaum muda tentang Indonesia masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar